Kamis, 29 Januari 2009

Tinjauan Hukum terhadap Pasal 103 huruf a UU No. 10 Tahun 1993 tentang Kepabeanan


1. Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan (selanjutnya disingkat UU Kepabeanan) dimaksudkan sebagai bagian dari hukum fiskal yang diharapkan dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.
UU Kepabeanan sebagai suatu peraturan hukum positip memuat kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dan atas pelanggarannya diancam dengan suatu sanksi yang bentuknya dapat berupa sanksi administratif ataupun sanksi pidana.
Pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih belum menggembirakan. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih banyak terjadi. Sebagian kalangan menganggap bahwa masalah ini disebabkan lebih dominannya pemberian sanksi administratif daripada sanksi pidana sehingga tidak membuat jera bagi pelakunya.
Dominasi sanksi administratif ini mungkin saja disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain:
a. kurang jelasnya batasan rumusan perbuatan mana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sifatnya pelanggaran administratif dan yang mana yang dapat ditarik sebagai tindak pidana,
b. kurangnya kuantitas dan kualitas penyidik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran di bidang kepabeanan melalui jalur hukum pidana, atau
c. mungkin juga disebabkan adanya suatu kebijakan untuk lebih mengutamakan pemberian sanksi administratif daripada memberikan sanksi pidana bagi si pelanggar, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan khusus, antara lain sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, yaitu berupa pembayaran sejumlah uang kepada negara dalam bentuk denda sebagai pemenuhan dari pemulihan fiscus dan untuk menjamin ditaatinya aturan-aturan yang secara tegas diatur dalam ketentuan undang-undang, sehingga diharapkan sanksi dapat dipakai sebagai sarana fiskal yang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Seminar kali ini nampaknya lebih dilatarbelakangi oleh pola pikir yang pertama sehingga mencoba menyoroti isi ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”

Walaupun demikian sebagai seorang sarjana hukum modern, sebaiknya kita harus berpikir secara sistematis, holistik, dan komprehensif. Untuk itu kami mencoba menganalisa masalah ini baik dari sudut pandang filosofis, ekonomis, yuridis, maupun praktis.

2. Tinjauan Filosofis
Filsafat hukum pada dasarnya menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apakah Hukum?” “Apakah tujuan Hukum itu?” dan “Mengapa orang menaati Hukum itu?” Ia menghendaki agar kita berpikir secara matang tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”, khusunya dalam seminar ini adalah yang berkaitan dengan “hukum pidana”.
Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang berisi perintah-printah dan larangan-larangan tentang tingkah laku orang-orang sebagai anggota dari suatu masyarakat yang terhadap pelanggarannya dapat dikenakan sanksi bagi si pelanggar. Sedangkan tujuan akhir dari hukum adalah untuk menciptakan suatu ketertiban di dalam masyarakat.
Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, untuk itu hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam masyarakat agar kepentingan yang beraneka ragam tersebut tidak saling berbenturan. Di dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu keseimbangan di antara berbagai kepentingan itu. Keseimbangan ini hanya dapat tercapai jika hukum yang mengaturnya dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar.
Apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, maka akan mengakibatkan keguncangan yang mengganggu keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha untuk memulihkan kembali keseimbangan yang sudah terguncang tersebut dengan memberikan sanksi, yaitu sanski administrasi dalam bidang hukum tata negara dan bidang hukum administrasi, sanksi perdata dalam bidang hukum perdata, dan sanksi pidana dalam bidang hukum pidana.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang antara lain menyatakan bahwa:
“... Asas tersebut ialah: bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condio sine qua-non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya dan harus menjaga supaya pidana itu tidak menjadi obat yang lebih memarahkan penyakit.” (Andi Zainal Abidin: 1987:16-17)

Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.
Van Bemmelen berpendapat bahwa remedium harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.
Perlu pula diperhatikan tujuan diberlakukannya suatu hukum pidana. Tujuan hukum pidana adalah:
a. untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan hukum pidana maka kita dapat melihat pula teori hukum pidana (strafrechtctheorien) yang didasarkan pada persoalan: “Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana?” atau “Mengapa alat-alat negara berhak mempidana seorang pelaku kejahatan?”.
Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan:
1. Teori Absolut atau Mutlak (absolute strafrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah berbuat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.
2. Teori Relatif atau Nisbi; berpendapat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori “tujuan” (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik.
3. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien); Teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur “preventie” dan unsur ”memperbaiki penjahat” yang melekat pada tiap pidana.

Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Kebanyakan ahli hukum nampaknya masih berpendapat bahwa hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Khusus untuk tindak pidana ekonomi sebagaimana halnya kejahatan di bidang kepabeanan, banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang). Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa tindak pidana ekonomi umumnya dilandasi oleh motif ekonomi dan pelaku tindak pidana ekonomi ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata ‘delinquent’ dan (bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum) kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Metode menarik untuk menetapkan berat/ringan pidana yang akan/harus dijatuhkan dalam rangka prevensi umum (generale preventie) dapat ditemukan dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana.

3. Analisa Ekonomi dari Hukum Pidana
Analisa ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia sebelum memutuskan sesuatu selalu mempertimbangkan untung-rugi dari keputusannya tersebut. Bila tindak pidana, dalam hal ini mengandung kemungkinan untuk menghasilkan saldo keuntungan, maka calon pelaku akan cenderung memutuskan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. (selanjutnya pembahasan mengenai analisa ekonomi dari hukum pidana dapat dibaca di http://azamul.blogspot.com/2009/01/pidana-mati.html)
4. Tinjauan Yuridis
Ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (duda ratus lima puluh juta rupiah).”

Perbuatan pidana yang dirumuskan oleh UU Kepabeanan tersebut di atas dibuat dalam bentuk “tindak pidana formal” (formeel delict), yaitu tindak pidana dirumuskan sebagai suatu bentuk perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan juga merupakan commissie-delict yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif.
Lawan “tindak pidana formal” adalah “tindak pidana materiil’ (materieel delict), yaitu apabila tindak pidana dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan suatu bentuk dari perbuatan itu. Contoh: Pasal 338 dan 187 KUHP.
Lawan dari commissie-delict adalah omissie-delict yang berarti tindak pidana dalam bentuk melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi ada kalanya seseorang diancam akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbutan tertentu, misalnya Pasal 224, 529, dan 531 KUHP
Perbedaan perumusan ini secara praktis sangat penting bagi para penyidik dalam membuat analisa terhadap hasil penyidikannya, bagi jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan, dan bagi para hakim dalam menyusun putusannya.
Jika perbuatan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 103 huruf a tersebut kita sebut sebagai sutu tindak pidana (strafbaar feit), maka kita harus ingat bahwa pada pokoknya strafbaarfeit mengandung dua unsur pokok, yaitu:
a. bahwa “feit” dalam “strafbaar feit” berarti “handeling”, kelakuan, tingkah laku, yang berada dalam alam nyata, dalam alam “sein”, dapat dilihat dengan panca indera.
b. bahwa pengertian “strafbaar feit” dihubungkan dengan kesalahan orang yang menimbulkan kelakuan tadi, yaitu yang berada dalam alam batin, tidak dapat dirasakan dengan panca indera. (Hermien Hadiati Koeswadji, 1993: 42)
Dari rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, maka perbuatan pidana dalam pengertian “handeling” di dalam pasal ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
- barangsiapa;
- menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis;
- yang palsu atau dipalsukan;
- yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean.
Unsur “barangsiapa” di dalam pasal ini merupakan subjek tindak pidana yang dapat berupa orang (persoon) atau suatu badan hukum. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh suatu badan hukum, maka perlu diperhatikan hal-hal yang diatur di dalam ketentuan Pasal 108 UU Kepabeanan.
Unsur “menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis” adalah suatu bentuk perbuatan berupa perbuatan positip/aktif yang pelaksanaannya bisa berupa:
menyerahkan secara fisik dari tangan ke tangan suatu surat, formulir atau disket yang berisi Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean;
menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean melalui hubungan langsung antar-komputer;
memberikan keterangan secara lisan;
memberikan keterangan secara tertulis.
Pemberitahuan Pabean yang dimuat di dalam disket atau hubungan langsung antar komputer perlu mendapat perhatian khusus, sehubungan dengan sifat data komputer yang mudah untuk diubah, dihapus, atau disembunyikan. Di satu sisi penggunaan teknologi komputer akan mempermudah penyelenggaraan administrasi kepabeanan, namun di sisi lain akan menyulitkan bagi upaya penyidikan terhadap kejahatan ini, terutama dalam hal jika terdapat kolusi dan/atau korupsi yang melibatkan pihak intern petugas Bea dan Cukai.
Unsur “palsu atau dipalsukan” merupakan suatu keterangan keadaan yang terdapat pada objek perbuatan pidana. Kata-kata “palsu” ini mengandung dua makna, yaitu bisa berupa surat atau dokumennya yang palsu, atau isi keterangannya yang palsu atau tidak benar. Unsur ini juga merupakan unsur pokok dalam mencari ada atau tidaknya sifat melanggar hukum (onrechtmatige) pada diri si pelaku, yaitu apakah si pelaku memang mempunyai maksud untuk menciptakan keadaan palsu atau dipalsukan tersebut atau tidak.
Unsur “digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean” merupakan suatu tujuan atau niat yang melandasi dilakukan perbuatan pasitif/aktif tersebut di atas. Si pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika ia mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut dan dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya itu.
Unsur kesalahan (schuld) merupakan hal kebatinan yang menghubungkan si pelaku dengan ketiga unsur berupa perbuatan, akibat, dan sifat melanggar hukum. Hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, dan seorang pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhi hukuman pidana jika pada batinnya terdapat unsur kesalahan atau “geen strafbaar feit zonder schuld” atau “actus non facit reum nisi mens sit rea” atau “an act does not make a person guilty unless his mind is gulity”.
Dalam praktek, sulit melakukan pembuktian ada/tidaknya kesalahan, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang berada di dalam alam batin. Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran materiil tentang ada/tidaknya unsur kesalahan perlu diperiksa semua fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum).
Untuk menentukan kesalahan yang dapat dikenakan pidana terhadap terdakwa, menurut Moeljatno harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;
3. mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (opzet) atau kealpaan (culpa);
4. tidak adanya alasan pemaaf.
Kesengajaan (opzet) harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-alasan diadakan larang itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Kesengajaan ada tiga macam, yaitu:
a. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan)
Kesengajaan seperti sub-2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).
Arti kata “culpa” adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu semacam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja, terjadi.
Sekarang mari kita bandingkan rumusan Pasal 103 huruf a dengan rumusan Pasal 7 ayat (5), Pasal 16 ayat (4), dan Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan.
Pasal 7 ayat (5) UU Kepabeanan:
“Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”

Pasal 16 ayat (4) UU Kepabeanan:
“Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar atau paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.”

Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan:
(5) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen darai Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
(6) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Rumusan yang terdapat di dalam ketiga pasal tersebut di atas menekankan kepada hasil atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh si pelanggar, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Dalam rumusan tindak pidana hal ini dikenal dengan “tindak pidana materiil” (materieel delict). Berdasarkan ketentuan ketiga pasal ini, cukup apabila isi Pemberitahuan Pabean pada kenyataannya (in concreto) salah maka si pelanggar dapat dikenakan sanksi sebagaimana telah ditetapkan. Tidak menjadi masalah apakah terdapat unsur kesalahan (schuld) pada diri si pelanggar atau tidak, baik dalam bentuk sengaja (opzet, dolus) maupun kealpaan (culpa).
Bagaimana jika ternyata dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur kesengajaan di dalam membuat Pemberitahuan Pabean yang salah tersebut ? Jika memang demikian halnya, maka terhadap si pelanggar dapat dikenakan ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, walaupun harus diakui di dalam prakteknya sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut.
Kemudian mungkin timbul pertanyaan, mengapa kita terlalu dipusingkan dengan unsur kesalahan tersebut; bukankah Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan adanya unsur “sengaja” atau “kealpaan” di dalam tuntutannya karena memang tidak ada dicantumkan di dalam rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan tersebut. Memang, secara letterlijk Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan apakah ada unsur kesengajaan atau kealpaan terhadap perbuatan itu, namun hal ini sangat beresiko si terdakwa akan lepas dari segala tuntutan hukum jika terdakwa dapat membuktikan bahwa benar perbuatan tersebut dilakukannya tetapi tidak ada unsur kesalahan pada dirinya, sedangkan tanpa adanya unsur kesalahan maka tidak ada suatu perbuatan pidana (strafbaar feit).
Oleh karena itu, kemampuan Penyidik dalam mengumpulkan fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum), sehingga dapat tergambar secara jelas adanya kesalahan pada diri tersangka, merupakan kunci sukses seorang Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan dakwaannya di persidangan.
Koordinasi yang baik di antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum pada tahap Pra-penuntutan sebagai cerminan adanya Integrated Criminal Justice System merupakan salah satu jalan keluar dalam mengatasi kendala-kendala di atas.

5. Tinjauan Praktis
United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Caracas, Venezuella pada tahun 1980, memberikan saran sebagai berikut:
1. Bahwa sukses dari suatu peradilan kriminal dan strategi tentang pencegahan khusus dalam hubungan pertumbuhan dari bentuk-bentuk kejahatan baru, adalah tergantung kepada kemajuan yang dicapai di seluruh dunia dalam peningkatan sosial dan mutu kehidupan. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk meninjau kembali strategi pencegahan secara tradisional yang hanya didasarkan pada kriteria perundang-undangan, yaitu pemberantasan kejahatan melalui Pengadilan;
2. Pencegahan kejahatan harus dipandang dalam hubungan pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosial budaya dan perubahan-perubahan bahan sosial, dan juga dalam ketertiban ekonomi internasional yang baru;
3. Adalah sangat penting, agar program pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggaran hukum, seharusnya didasarkan pada keadaan-keadaan sosial, budaya politik dan ekonomi suatu negara, dalam suatu suasana kemerdekaan dan penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, dan agar negara-negara anggota meningkatkan keahlian secara efektif untuk merumuskan dan merencanakan politik kriminal, dan agar semua poiltik pencegahan kejahatan harus dikoordinasikan dengan strategi tentang pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. (Abdul karim Nasution, 1980: 22-23)

Jika kita perhatikan saran yang dikemukakan oleh United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders tersebut serta dibandingkan dengan prinsip yang terkandung dalam Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, maka hal ini saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah perbaikan perlu dilakukan di segala bidang baik dalam bidang ekonomi-moneter, peningkatan tertib administrasi, pengawasan, dan koordinasi antar bidang dan departemen/non-departemen, pemberantasan KKN, pemeliharaan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan kesadaran hukum masyarakat yang dapat menciptakan budaya hukum yang baik, dan lain sebagainya; semua saling memperngaruhi, bisa saling memperkuat atau memperlemah, karena semua merupakan suatu sistem yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan usaha partial belaka.
Jika kita berbicara tentang masalah penegakan hukum (law enforcement), maka kita tidak boleh melupakan salah satu dari paling tidak empat faktor yang sangat berpengaruh di dalam upaya penegakan hukum itu, yaitu:
1. Materi hukum;
2. Aparat penegak hukum;
3. Sarana dan prasarana hukum;
4. Budaya hukum.
Tulisan ini mungkin baru mencoba melakukan evaluasi terhadap materi hukumnya semata; Untuk langkah ke depan hendaknya kita jangan sampai melupakan bahwa masih banyak faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, antara lain kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik dari aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum yang memadai, serta budaya hukum yang mendukung penegakan hukum itu baik dari kalangan infra struktur maupun supra struktur masyarakat.
Penanganan masalah ganguan terhadap ketertiban masyarakat pada saat ini tidak dapat diharapkan melulu melalui peradilan pidana semata. Penggunaan instrumen-instrumen lain seperti instrumen sosial-budaya, ekonomi dan politik perlu semakin digiatkan dalam rangka mendukung terciptanya ketertiban masyarakat yang ber-keadilan sosial dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga keutuhan Persatuan dan Kesatuan Bangsa tetap terjaga secara mantap demi menjamin Pembangunan Nasional yang berkesinambungan.

Perlindungan Hukum TKI

Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Konsekwensinnya adalah setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat Negara serta penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum sehingga tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun penduduk termasuk perlakuan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) baik pada proses perekrutannya, pengangkutan, pemindahan dan penampungan serta penerimaannya di luar Negeri.

Untuk memberikan perlindungan bagi TKI di luar negeri, Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-204/MEN/1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Pasal 2 Kepmenaker tersebut menyatakan bahwa penempatan TKI diselenggarakan secara tertib efisien dan efektif untuk meningkatkan perlindungan, kesejahteraan tenaga kerja, perluasan lapangan kerja, kualitas tenaga kerja dan peningkatan penerimaan devisa dengan memperhatikan harkat dan martabat manusia, bangsa dan negara.

Penempatan TKI dapat dilakukan kesemua negara dengan ketentuan:
  1. Negara tujuan memiliki peraturan adanya perlindungan tenaga kerja asing
  2. Negara tujuan membuka kemungkinan kerjasama bilateral dengan negara Indonesia
  3. Keadaan dinegara tujuan tiadak membahayakan keselamatan
    Penempatan TKI tersebut dilakukan sesuai dengan potensi TKI untuk bekerja di berbagai jenis pekerjaan atau jabatan didarat, laut dan udara.

Pelayanan penempatan TKI harus dilakukan dengan benar, tertib mudah, cepat dan tanpa diskriminasi baik pada kegiatan pra penempatan, selama penempatan, sampai purna penempatan.

Promosi dan pemasaran jasa TKI diluar negeri dilaksanakan oleh lembaga swasta dan atau instansi pemerintah.
Penempatan TKI dilakukan oleh Lembaga pelaksana yang terdiri dari :

  1. PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
  2. Instansi pemerintah atau badan usaha milik negara
  3. Badan usaha swasta untuk kepentingannya sendiri

PJTKI adalah badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, yang berusaha di bidang jasa penempatan TKI ke Luar Negeri dan wajib memiliki Surat Ijin Usaha Penempatan Perusahaan Jasa TKI (SIUP-PJTKI)

PJTKI dapat membentuk Perwakilan PJTKI di daerah (Perwada) untuk melaksanakan kegiatan penempatan TKI atas nama PJTKI di wilayah kerja tertentu. Dalam hal PJTKI membentuk Perwada, PJTKI wajib mendaftarkannya ke kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.

PJTKI juga dapat membentuk Perwakilan PJTKI di luar negeri (Perwalu), baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk melaksanakan kegiatan untuk dan atas nama PJTKI di luar negeri. Pembentukan Perwalu tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara setempat. PJTKI harus melaporkan keberadaan Perwalu kepada perwakilan RI di negara setempat dan Direktur Jenderal dengan melampirkan :

  1. Nama dan alamat lengkap Perwalu
  2. Surat keputusan Direksi tentang dasar pembentuk serta penanggung jawab Perwalu.
  3. Struktur organisasi, tugas dan fungsi Perwalu

Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-204/MEN/1999 telah diatur birokrasi penempatan TKI ke luar negeri dengan tujuan untuk memudahkan penataan, pendataan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengevaluasian terhadap pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri.
Beberapa ketentuan yang bersifat birokrasi tersebut antara lain dapat dilihat dari hal-hal berikut ini:

  • Pendataan calon TKI dilaksanakan oleh petugas pengantar kerja pemerintah dan atau pekerja Perwarda
  • Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendapatkan permintaan TKI (Job Order)
  • Pendataan dilakukan dengan menyerahkan foto copy jati diri (KTP) calon TKI, ijasah dan atau sertifikat keterampilan
  • PJTKI yang akan melaksanakan penempatan TKI harus mempunyai Mitra Usaha dan atau Pengguna.
  • Untuk melakukan kegiatan penempatan TKI, PJTKI harus memiliki: perjanjian kerjasama penempatan, surat permintaan nyata TKI (job order) atas nama PJTKI yang bersangkutan, perjanjian penempatan TKI, dan perjanjian kerja.
  • PJTKI wajib melaporkan seluruh dokumen tersebut di atas kepada Direktur Jenderal.
  • Perjanjian penempatan harus memuat tanggung jawab PJTKI dengan Mitra usaha atau Pengguna dalam perlindungan TKI dan PJTKI harus mendaftarkan perjanjian penempatan kepada Perwakilan R.I. di negara setempat.
  • Surat permintaan TKI (job order) sekurang-kurangnya harus memuat jumlah TKI, jenis dan uraian pekerjaan atau jabatan, kualifikasi TKI, syarat-syarat kerja, kondisi kerja, jaminan sosial, dan masa berlakunya surat permintaan.
  • Perjanjian penempatan TKI sekurang-kurangnya harus memuat, a. Kepastian waktu pemberangkatan calon anggota TKI, b. Biaya penempatan calon anggota TKI ke negara tujuan, dan c. Jabatan atau pekerjaan calon TKI
  • Masa berlaku perjanjian kerja adalah 2 (dua) tahun.
  • Dalam hal PJTKI dan atau Perwada telah memiliki surat permintaan TKI (job order) maka PJTKI dan atau Perwada wajib melaporkan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja atau BP2TKI tentang rencana kebutuhan TKI dari daerah setempat serta dengan menunjukkan job order.
  • Untuk menghindarkan adanya penyesatan terhadap TKI dalam penempatan, maka harus dilakukan penyuluhan calon anggota TKI, dimana harus dijelaskan kepada calon anggota TKI mengenai : a. Lowongan Pekerjaan yang tersedia, b. Syarat-syarat kerja yang memuat antara lain upah, jaminan sosial, waktu kerja, kondisi kerja, lokasi dan kondisi tempat kerja, c. Situasi dan kondisi negara tujuan, d. Hak dan kewajiban TKI, e. Biaya-biaya yang dibebankan kepada calon TKI, dan f. Persyaratan calon TKI
  • Setiap calon TKI mendaftar harus memenuhi syarat ; a. Usia minimal 18 tahun, kecuali peratuaran negara tujuan menentukan lain, b. Memiliki Kartu Tanda Penduduk, c. Sehat mental dan fisik yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, d. Sekurang-kurangnya tamat SD, memiliki keterampilan atau keahlian dan pengalaman sesuai dengan persyaratan jabatan atau pekerjaan yang diperlukan, e. Ijin dari orang tua wali, suami, isteri.
  • PJTKI dan atau Perwada melaksanakan seleksi administratif dan seleksi keterampilan terhadap calon TKI yang mendaftar.
  • PJTKI dan calon TKI yang telah lulus seleksi wajib menandatangani perjanjian penempatan TKI dan diketahui oleh pejabat dari kantor Departemen Tenaga Kerja daerah rekrut.
  • PJTKI atau Perwada harus membuat kartu Identitas TKI (KITKI) dan daftar nominasi calon TKI bagi mereka yang telah lulus seleksi.
  • PJTKI wajib menyerahkan daftar nominasi calon TKI yang telah ditanda tangani oleh petugas yang berwenang dari PJTKI atau Perwada yang bersangkutan, kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dengan di lampiri foto copy KITKI.
  • PJTKI dan atau calon TKI mengurus paspor ke kantor Imigrasi setempat berdasarkan daftar nominasi calon TKI.
  • Pengurusan visa kerja calon TKI dilakukan oleh PJTKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • Sebelum diberangkatkan calon TKI menandatangani perjanjian kerja yang isinya telah disetujui oleh pengguna.
  • Penandatanganan perjanjian kerja dilakukan setelah calon TKI memperoleh visa kerja di hadapan dan diketahui oleh pegawai Pengawas Ketenagakerjaan di kantor BP2TKI atau kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
  • Dalam hal persiapan pemberangkatan calon TKI membutuhkan tempat penampungan maka PJTKI wajib menyediakan akomodasi di tempat penampunagan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • PJTKI wajib mengikutsertakan Calon TKI dalam program asuranasi perlindungan TKI.
  • Program asuransi perlindungan TKI dilakukan oleh konsorsium asuransi perlindungan TKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
  • PJTKI wajib memberikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) kepada calon TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan.
  • PJTKI wajib memberitahukan setiap pemberangkatan Calon TKI kepada Perwalu, Mitara Usaha, Pengguna dan Perwakilan R.I. di negara tujuan.
  • PJTKI wajib melaporkan hasil penempatan TKI secara berkala setiap bulan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja domisili PJTKI dan Direktur Jenderal.

Dalam hal terdapat permasalahan dan atau perselisihan yang terjadi antara TKI dengan Pengguna, maka PJTKI wajib menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam menyelesaikan permasalahan dan atau perselisihan tersebut PJTKI berkoordinasi dengan Perwalu atau Mitra Usaha dan dapat minta bantuan kepada Perwakilan R.I. dengan memberitahukan atau menunjukkan bukti pendaftaran Perwalu dan atau Mitra Usaha serta dokumen yang berkaitan dengan penempatan TKI yang bersangkutan.

Demikian pula dalam hal TKI mendapat kecelakaan, sakit atau meninggal dunia di luar negeri, maka PJTKI wajib mengurus perawatan atau pemakaman jenasah sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui Perwalu dan Mitra Usahanya, mengurus harta peninggalan dan hak-hak TKI yang belum diterima untuk diserahkan kepada ahli waris TKI yang bersangkutan, melaporkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan pengawasan norma kerja selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterimanya informasi kecelakaan, sakit, atau meninggal dunia, dan mengurus klaim asuransi dan menyampaikannya kepada ahli waris TKI yang bersangkutan.

Mengingat begitu banyak kasus-kasus yang cukup menyedihkan yang dialami oleh TKI di luiar negeri, maka pemerintah terdiri dari Menteri Luar Negeri, Menteri Kehakiman dan hak Asasi Manusia, Menteri Perhubungan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Agama, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mengeluarkan SKB tentang Tim Advokasi, Pembelaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indodnesia di Luar Negeri.

Pertimbangan dikeluarkannya SKB tersebut antara lain bahwa penempatan TKI ke luar negeri perlu dikendalikan dan diawasi untuk menjamin perlindungan hak dan perlindungan hukum baik pada proses rekrutmen, selama penempatan di luar negeri dan setelah kembali ke Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan untuk menghindari segala bentuk permasalahan yang dihadapi TKI khususnya selama bekerja diu luar negeri.

Tim Advokasi, Pembelaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang disetujui oleh SKB ini adalah Tim yang dibentuk untuk memberikan bantuan konseling, pembelaan dan perlindungan kepada TKI.

Tim Advokasi berkedudukan di berbagai kota Negara tujuan penempatan tenaga kerja Indonesia sesuai kebutuhan, dibawah koordinasi Perwakilan R.I. , terdiri dari 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang Anggota. Tim diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi setelah mendapat pertimbangan dan Menteri terkait, untuk paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Tim, dibentuk Sekretariat yang dipimpin oleh Direktur jenderal pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang keanggotaannya terdiri dari unsur Departemen/kementerian terkait, yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Tim mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. memberikan perlindungan, pembelaan hak-hak dasar dan bantuan hukum bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri;
  2. melakukan pendapatan dan penelitian dokumen tenaga kerja Indonesia (bekerjasama dengan Agency);
  3. mendata nama dan alamat majikan;
  4. melakukan bimbingan dan penyuluhan bagi TKI;
  5. memberikan konsultasi dan pendampingan bagi TKI dengan yang bermasalah;
  6. membantu penyelesaian perselisihan antara TKI dengan Pengguna/Majikan;
  7. memberikan membantu penyelesaian administrasi dan dokumen TKI;
  8. mengurus penyelesaian pembayaran atas gaji TKI yang tidak dibayar;
  9. memproses penyelesaian pemenuhan hak-hak akibat pemusatan hubungan kerja dan harta kekayaan TKI;
  10. mengupayakan pembelaan hukum bagi TKI;
  11. mengurus penyelesaian sengketa antara TKI dengan pihak ketiga (bukan pengguna/majikan);
  12. mengurus penyelesaian jaminan atas resiko kecelakaan kerja dan atau kematian yang dialami oleh TKI.
  13. membantu proses pemulangan TKI;
  14. melaksanakan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Tim sesuai dengan petunjuk Menteri terkait.

Tim bertanggung jawab kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui kepala perwakilan R.I. dan wajib menyampaikan laporan kegiatannya setiap bulan dan laporan insidental berkaitan dengan pelaksanaan tugas kepada Menteri yang menandatangi keputusan bersama dan Menteri yang mendatangani Keputusan Bersama dan Menteri terkait melalui Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat.

PIDANA MATI

I. Pendahuluan
Pidana mati bisa jadi merupakan salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. Pidana mati terlihat seperti pidana yang paling kejam disebabkan eksekusinya sungguh mendirikan bulu kuduk. Hugo Adam Bedau mengemukakan beberapa contoh seperti “flaying and impaling, boiling in oil, crucifixion, pulling asunder, breaking on the wheel, burying alive, and sawing in half”. Di samping itu, dahulu kala di Inggeris dan Amerika, para penjahat seringkali “pressed to death, drawn and quartered, and burned at the stake” (J.E. Sahetapi, 1982, hlm. 95).

Di lain situasi, pada saat masyarakat melihat begitu merajalelanya tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, pada saat melihat begitu kejamnya akibat peledakan bom yang dilakukan oleh teroris, atau pada saat menyadari begitu menyedihkan dan mengkhawatirkannya nasib anak bangsa ini akibat peredaran gelap narkoba, maka sebagian dari anggota masyarakat tersebut secara spontan mengatakan agar pelakunya lebih baik dipidana mati saja.

Oleh karena itu wajarlah bahwa pidana mati merupakan suatu problema yang paling kontroversial. Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga kontroversial dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan kontroversial pula karena tidak ada kata sepakat tentang sarana pelaksanaan pidana mati sehingga semuanya itu menyebabkan Enrico Ferri menganggap permasalahan pidana mati sebagai “worn out from an intellectual point of view”, sedangkan Aldolphe Prins memandang tak lain dan tak bukan sebagai “a survival of the ancient theory of deterrence”.

Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun semakin berkembang pesat. Namun demikian, masih belum ada kata sepakat tentang cara pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati akan tetap menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam.

Berdasarkan tulisan Clarence Farrer dan Rufus King, Bedau menyatakan bahwa cara apapun yang hendak dipergunakan, pelaksanaan pidana mati selalu akan tetap menimbulkan perasan kejam dan memuakkan, baik bagi mereka yang melaksanakan maupun bagi mereka yang menyaksikan atau yang mengawasinya. Tidaklah mengherankan bila mereka yang bertugas; yang mengawasi ataupun yang menyaksikan pelaksanaan pidana mati, kemudian mengubah pendirian mereka setelah menyaksikan pelaksanaan pidana mati (J.E. Sahetapi, 1982, hlm. 98).


II. Pemidanaan dan Pidana Mati

Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya tidak termasuk dalam pengertian ini. (R. Soesilo, 1993, hlm: 35).

Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau:

  1. Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie)
  2. Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
  3. Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie).
  4. Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
  1. untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
  2. untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Berkaitan dengan tujuan hukum pidana maka kita dapat melihat pula teori hukum pidana (strafrechtctheorien) yang didasarkan pada persoalan: “Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana?” atau “Mengapa alat-alat negara berhak mempidana seorang pelaku kejahatan?”.

Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan:

  1. Teori Absolut atau Mutlak (absolute strafrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah berbuat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.
  2. Teori Relatif atau Nisbi; berpendapat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori “tujuan” (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik.
  3. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien); Teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur “preventie” dan unsur ”memperbaiki penjahat” yang melekat pada tiap pidana.

Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.

Sehubungan dengan pandangan mengenai general preventie dan teori “tujuan” sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka baik pula kita bandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Leo Polak mengenai pemidanaan. Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat:

  1. perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif (objective betreurenswaardigheid).
  2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Sebabnya syarat ini? Umpamanya dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka adalah kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan (onlust) yang beratnya lebih dari pada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
  3. Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil! Harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih. (E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
III. Kontraversi Pidana Mati
Bagi pendukung pidana mati, pidana mati adalah satu-satunya pidana yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan yang berat yang sukar diampuni. Oleh karena itu pidana mati dapat dianggap paling tidak mempunyai efek menakutkan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Selain itu bila si penjahat yang bersangkutan tidak dieksekusi, maka ia akan selalu dapat melarikan diri dari penjara atau kalau pada suatu waktu ia dibebaskan, ia akan dapat mengulangi perbuatan kejahatannya.

Dalam pandangan pendukung pidana mati, pidana mati merupakan suatu pidana yang tepat untuk suatu kejahatan yang dianggap sangat kejam. Dalam hal ini pidana mati tidak dilihat semata-mata sebagai suatu alat untuk menakut-nakuti calon-calon pembunuh berencana. Pidana mati hendaklah dianggap sebagai reaksi dan manifestasi rasa muak dari sebahagian besar masyarakat terhadap suatu kejahatan tertentu.

Abad ke-20 adalah abad pasang naik bagi mereka yang memperjuangkan penghapusan pidana mati. Terutama setelah Perang Dunia II gerak dan langkah serta usaha-usaha menghapuskan pidana mati makin berkembang. Kalau semua gerak dan langkah serta usaha itu bersifat pribadi dan lokal, setapak demi setapak ia berkembang mencapai tingkat nasional, bahkan pada akhirnya menggugah perhatian dan hati nurani dunia internasional sehingga sampai diperdebatkan dalam forum internasional.

Kini pada umumnya alasan-alasan penghapusan pidana mati berdasarkan pertimbangan faktor-faktor serta alasan-alasan teologis praktis sudah tidak menampakkan diri lagi. Pemikiran secara filosofis dan metafisis tentang arti dan tujuan pidana mati sudah kurang mendapat pasaran. Sebaliknya pemikiran dan argumentasi secara pragmatis, realistis dan praktis makin menonjol. Hal ini nampak didorong oleh usaha-usaha penelitian yang hendak membuktikan dengan statistik bahwa pidana mati sama sekali tidak berpengaruh terhadap penurunan ataupun kenaikan angka-angka kejahatan.

Berdasarkan data penelitian di berbagai tempat yang dikumpulkan oleh Departemen Economic and Social Council (ECOSOC), ditarik kesimpulan bahwa tidak ada pelonjakan dalam angka kejahatan dengan dihapuskannya pidana mati. Bahkan kadangkala terjadi restorasi pidana mati malahan menyebabkan bertambahnya kejahatan dan restorasi pidana mati tidak memberi jaminan tidak timbulnya kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah tidak dipidana mati.

Dilihat secara makro, maka berdasarkan penelitian ECOSOC tersebut, arah permasalahan pidana mati menuju ke arah abolisi secara sempurna.

Di samping itu ada masalah lain yang perlu diperhatikan juga, yaitu perbuatan pidana yang manakah yang dianggap begitu antisosial atau demikian jahatnya dalam skema nilai-nilai sosial, dalam klasifikasi kejahatan, sehingga harus dipertaruhkan dengan ancaman pidana mati? Aspek korelasi antara “klasifikasi” dan “ancaman” ini sudah barang tentu bertalian erat dengan norma-norma dan nilai-nilai serta struktur politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat yang bersangkutan.

III. Legalitas Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
  1. Hukuman mati
  2. Hukuman penjara
  3. Hukuman kurungan
  4. Hukuman denda

b. Pidana tambahan:

  1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
  2. Perampasan barang yang tertentu
  3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.
Pada zaman dahulu di Indonesia terdapat berbagai macam pidana seperti: dibakar hidup-hidup, dimatikan dengan menggunakan satu keris, dicap-dibakar, dipukul, dipukul dengan rantai, ditahan dalam penjara, bekerja paksa dalam pekerjaan umum, dan sebagainya. Akan tetapi, pidana semacam itu sudah tidak dilaksanakan lagi, dan sekarang pidana yang sah dan oleh hakim dapat dijatuhkan ialah macam-macam pidana sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 10 KUHP .

Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
  • Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
  • Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
  • Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
  • Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
  • Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
  • Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
  • Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
  • Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
  • Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
  • Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;

Berdasarkan Pasal 11 KUHP eksekusi hukuman mati dijalankan oleh seorang algojo di tempat penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.

Berdasarkan pandangan bahwa ketentuan pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 KUHP tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa masyarakat Indonesia, maka dengan Penpres No. 2 Tahun 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat di dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, dengan ketentuan–ketentuan antara lain sebagai berikut :

  • Waktu dan pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari Kepala Kejaksaan Tinggi (KAJATI)/Jaksa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pidana mati itu.
  • KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama dengan KAJATI/Jaksa yang bertanggung jawab, juga penasehat hukum terpidana atas permintaannya sendiri atau permintaan terpidana, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu.
  • Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh KAJATI/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan, dan kepada terpidana diberikan kesempatan untuk mengemukakan suatu keterangan atau pesan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
  • Untuk pelaksanaan pidana mati itu KAPOLDA tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobil, terdiri dari seorang dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira, untuk tugasnya ini regu tembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada di bawah perintah KAJATI/Jaksa.
  • Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :

  1. Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
  2. Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
  3. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
  4. Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
  5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
  6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, ada alasan meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
  7. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
  8. Jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
    (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15).
IV. Urgensi Penerapan Pidana Mati dalam Upaya Memberantas Kejahatan Tertentu
Jika dikaitkan dengan hasil penelitian di berbagai tempat yang dilakukan oleh ECOSOC bahwa tidak ada pelonjakan dalam angka kejahatan dengan dihapuskannya pidana mati, bahkan kadangkala terjadi restorasi pidana mati malahan menyebabkan bertambahnya kejahatan dan restorasi pidana mati tidak memberi jaminan tidak timbulnya kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah tidak dipidana mati, maka dapat dikatakan bahwa tujuan untuk menakut-nakuti pelaku tindak pidana tertentu dengan menerapkan ancaman pidana mati di dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak efektif.
Khusus untuk tindak pidana yang dilandasi oleh motif ekonomi, banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa pelaku tindak pidana yang dilandasi oleh motif ekonomi umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata ‘delinquent’ dan (bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum) kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Metode menarik untuk menetapkan berat/ringan pidana yang akan/harus dijatuhkan dalam rangka prevensi umum (generale preventie) dapat ditemukan dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana.
Analisa ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia sebelum memutuskan sesuatu selalu mempertimbangkan untung-rugi dari keputusannya tersebut. Bila tindak pidana, dalam hal ini mengandung kemungkinan untuk menghasilkan saldo keuntungan, maka calon pelaku akan cenderung memutuskan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, untuk menakut-nakuti calon pelaku, harus dinaikkan besarnya biaya atau kerugian dari tindak pidana tersebut. Dalam hal ini, biaya atau kerugian tersebut tidak berkenaan dengan biaya nyata akan tetapi berkenaan dengan biaya atau kerugian yang dapat diduga sebelumnya oleh calon pelaku, dimana harus diperhatikan bahwa kenyataan yang ada akan juga turut mempengaruhi dugaan tersebut. Perhitungan besarnya biaya atau kerugian yang dapat diduga (verwachte kosten) tergantung pada dua variabel, yaitu kemungkinan tertangkap (pakkans) dan pidana yang akan dijatuhkan (verwachte straf) yang harus dikalikan, sehingga:
verwachte kosten = pakkans x verwachte straf
Berdasarkan rumus di atas, maka tersedia dua alternatif untuk menaikkan besar atau nilai kerugian yang dapat diharapkan sedemikian hingga melebihi nilai keuntungan yang diharapkan, yaitu meningkatkan kemungkinan tertangkap dan peningkatan bobot sanksi (pidana penjara atau denda). (J.C. Oudijk, 1994: 410-414)
Pidana denda dan uang pengganti sangat menarik dari sudut pandang ekonomi, oleh karena (a) langsung tertuju pada hasrat kerja (mencari dan memperoleh keuntungan) calon pelaku, dan (b) merupakan pidana dengan biaya murah dan karena itu dari sudut pandang ekonomis dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, kita tidak mungkin hanya menggandakan pidana denda. Terlebih lagi, semakin sedikit uang yang dimiliki si terpidana, semakin kecil pengaruh peningkatan denda maksimum yang diancamkan terhadapnya. Di samping itu, denda maksimum hanya dapat ditingkatkan sampai batas maksimum tertentu. Karena itu, kita tetap harus mendayagunakan jenis-jenis pidana lain, khususnya pidana perampasan kemerdekaan (vrijheidsstraffen).
Variabel kemungkinan tertangkap (pakkans) juga perlu diperhatikan secara seksama dalam praktek di lapangan. Budaya KKN seperti “suap” yang banyak menggerogoti para pejabat maupun aparat pelaksana di lapangan jelas sangat berpengaruh terhadap kecilnya kemungkinan tertangkap ini. Dengan demikian, berapun besarnya bobot pidana yang akan dijatuhkan (verwachte straf), tidak akan berarti bagi calon pelaku kejahatan jika ratio kemungkinan tertangkapnya sangat kecil, apalagi jika sampai mendekati 0 %.
V. Penutup
Mengingat kontroversialnya penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serta trend yang ada sejak abad-20 menunjukkan semakin ditinggalkannya penerapan pidana mati terhadap pelaku kejahatan, maka perlu dipikirkan secara matang apakah benar-benar diperlukan penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana tertentu.
Teori pidana modern saat ini lebih mengedepankan aspek general preventie daripada aspek pembalasan dendam terhadap pelaku atau menakut-nakuti calon pelaku kejahatan. Oleh karena itu, perlu dicari akar permasalahan atau motif mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana untuk selanjutnya dicari suatu pemecahan masalah bagaimana caranya agar motif tersebut dapat ditekan sedapat mungkin hingga mendekati titik terendah.