Kamis, 29 Januari 2009

PIDANA MATI

I. Pendahuluan
Pidana mati bisa jadi merupakan salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. Pidana mati terlihat seperti pidana yang paling kejam disebabkan eksekusinya sungguh mendirikan bulu kuduk. Hugo Adam Bedau mengemukakan beberapa contoh seperti “flaying and impaling, boiling in oil, crucifixion, pulling asunder, breaking on the wheel, burying alive, and sawing in half”. Di samping itu, dahulu kala di Inggeris dan Amerika, para penjahat seringkali “pressed to death, drawn and quartered, and burned at the stake” (J.E. Sahetapi, 1982, hlm. 95).

Di lain situasi, pada saat masyarakat melihat begitu merajalelanya tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, pada saat melihat begitu kejamnya akibat peledakan bom yang dilakukan oleh teroris, atau pada saat menyadari begitu menyedihkan dan mengkhawatirkannya nasib anak bangsa ini akibat peredaran gelap narkoba, maka sebagian dari anggota masyarakat tersebut secara spontan mengatakan agar pelakunya lebih baik dipidana mati saja.

Oleh karena itu wajarlah bahwa pidana mati merupakan suatu problema yang paling kontroversial. Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga kontroversial dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan kontroversial pula karena tidak ada kata sepakat tentang sarana pelaksanaan pidana mati sehingga semuanya itu menyebabkan Enrico Ferri menganggap permasalahan pidana mati sebagai “worn out from an intellectual point of view”, sedangkan Aldolphe Prins memandang tak lain dan tak bukan sebagai “a survival of the ancient theory of deterrence”.

Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun semakin berkembang pesat. Namun demikian, masih belum ada kata sepakat tentang cara pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati akan tetap menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam.

Berdasarkan tulisan Clarence Farrer dan Rufus King, Bedau menyatakan bahwa cara apapun yang hendak dipergunakan, pelaksanaan pidana mati selalu akan tetap menimbulkan perasan kejam dan memuakkan, baik bagi mereka yang melaksanakan maupun bagi mereka yang menyaksikan atau yang mengawasinya. Tidaklah mengherankan bila mereka yang bertugas; yang mengawasi ataupun yang menyaksikan pelaksanaan pidana mati, kemudian mengubah pendirian mereka setelah menyaksikan pelaksanaan pidana mati (J.E. Sahetapi, 1982, hlm. 98).


II. Pemidanaan dan Pidana Mati

Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya tidak termasuk dalam pengertian ini. (R. Soesilo, 1993, hlm: 35).

Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau:

  1. Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie)
  2. Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie).
  3. Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-stheorie).
  4. Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah:
  1. untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
  2. untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Berkaitan dengan tujuan hukum pidana maka kita dapat melihat pula teori hukum pidana (strafrechtctheorien) yang didasarkan pada persoalan: “Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana?” atau “Mengapa alat-alat negara berhak mempidana seorang pelaku kejahatan?”.

Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan:

  1. Teori Absolut atau Mutlak (absolute strafrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah berbuat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.
  2. Teori Relatif atau Nisbi; berpendapat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori “tujuan” (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik.
  3. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien); Teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur “preventie” dan unsur ”memperbaiki penjahat” yang melekat pada tiap pidana.

Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.

Sehubungan dengan pandangan mengenai general preventie dan teori “tujuan” sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka baik pula kita bandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Leo Polak mengenai pemidanaan. Menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat:

  1. perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif (objective betreurenswaardigheid).
  2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Sebabnya syarat ini? Umpamanya dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka adalah kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan (onlust) yang beratnya lebih dari pada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat.
  3. Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil! Harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih. (E. Utrecht, 1958, hlm: 168)
III. Kontraversi Pidana Mati
Bagi pendukung pidana mati, pidana mati adalah satu-satunya pidana yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan yang berat yang sukar diampuni. Oleh karena itu pidana mati dapat dianggap paling tidak mempunyai efek menakutkan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Selain itu bila si penjahat yang bersangkutan tidak dieksekusi, maka ia akan selalu dapat melarikan diri dari penjara atau kalau pada suatu waktu ia dibebaskan, ia akan dapat mengulangi perbuatan kejahatannya.

Dalam pandangan pendukung pidana mati, pidana mati merupakan suatu pidana yang tepat untuk suatu kejahatan yang dianggap sangat kejam. Dalam hal ini pidana mati tidak dilihat semata-mata sebagai suatu alat untuk menakut-nakuti calon-calon pembunuh berencana. Pidana mati hendaklah dianggap sebagai reaksi dan manifestasi rasa muak dari sebahagian besar masyarakat terhadap suatu kejahatan tertentu.

Abad ke-20 adalah abad pasang naik bagi mereka yang memperjuangkan penghapusan pidana mati. Terutama setelah Perang Dunia II gerak dan langkah serta usaha-usaha menghapuskan pidana mati makin berkembang. Kalau semua gerak dan langkah serta usaha itu bersifat pribadi dan lokal, setapak demi setapak ia berkembang mencapai tingkat nasional, bahkan pada akhirnya menggugah perhatian dan hati nurani dunia internasional sehingga sampai diperdebatkan dalam forum internasional.

Kini pada umumnya alasan-alasan penghapusan pidana mati berdasarkan pertimbangan faktor-faktor serta alasan-alasan teologis praktis sudah tidak menampakkan diri lagi. Pemikiran secara filosofis dan metafisis tentang arti dan tujuan pidana mati sudah kurang mendapat pasaran. Sebaliknya pemikiran dan argumentasi secara pragmatis, realistis dan praktis makin menonjol. Hal ini nampak didorong oleh usaha-usaha penelitian yang hendak membuktikan dengan statistik bahwa pidana mati sama sekali tidak berpengaruh terhadap penurunan ataupun kenaikan angka-angka kejahatan.

Berdasarkan data penelitian di berbagai tempat yang dikumpulkan oleh Departemen Economic and Social Council (ECOSOC), ditarik kesimpulan bahwa tidak ada pelonjakan dalam angka kejahatan dengan dihapuskannya pidana mati. Bahkan kadangkala terjadi restorasi pidana mati malahan menyebabkan bertambahnya kejahatan dan restorasi pidana mati tidak memberi jaminan tidak timbulnya kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah tidak dipidana mati.

Dilihat secara makro, maka berdasarkan penelitian ECOSOC tersebut, arah permasalahan pidana mati menuju ke arah abolisi secara sempurna.

Di samping itu ada masalah lain yang perlu diperhatikan juga, yaitu perbuatan pidana yang manakah yang dianggap begitu antisosial atau demikian jahatnya dalam skema nilai-nilai sosial, dalam klasifikasi kejahatan, sehingga harus dipertaruhkan dengan ancaman pidana mati? Aspek korelasi antara “klasifikasi” dan “ancaman” ini sudah barang tentu bertalian erat dengan norma-norma dan nilai-nilai serta struktur politik, sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat yang bersangkutan.

III. Legalitas Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu:
a. Pidana pokok:
  1. Hukuman mati
  2. Hukuman penjara
  3. Hukuman kurungan
  4. Hukuman denda

b. Pidana tambahan:

  1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu
  2. Perampasan barang yang tertentu
  3. Pengumuman keputusan Hakim
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di Indonesia merupakan merupakan pidana pokok.
Pada zaman dahulu di Indonesia terdapat berbagai macam pidana seperti: dibakar hidup-hidup, dimatikan dengan menggunakan satu keris, dicap-dibakar, dipukul, dipukul dengan rantai, ditahan dalam penjara, bekerja paksa dalam pekerjaan umum, dan sebagainya. Akan tetapi, pidana semacam itu sudah tidak dilaksanakan lagi, dan sekarang pidana yang sah dan oleh hakim dapat dijatuhkan ialah macam-macam pidana sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 10 KUHP .

Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP misalnya ;
  • Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara;
  • Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia;
  • Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;
  • Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat;
  • Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu;
  • Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati;
  • Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ;
  • Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ;
  • Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang;
  • Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ;

Berdasarkan Pasal 11 KUHP eksekusi hukuman mati dijalankan oleh seorang algojo di tempat penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.

Berdasarkan pandangan bahwa ketentuan pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 KUHP tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa masyarakat Indonesia, maka dengan Penpres No. 2 Tahun 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat di dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, dengan ketentuan–ketentuan antara lain sebagai berikut :

  • Waktu dan pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari Kepala Kejaksaan Tinggi (KAJATI)/Jaksa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pidana mati itu.
  • KAPOLDA atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama dengan KAJATI/Jaksa yang bertanggung jawab, juga penasehat hukum terpidana atas permintaannya sendiri atau permintaan terpidana, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu.
  • Terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh KAJATI/Jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan, dan kepada terpidana diberikan kesempatan untuk mengemukakan suatu keterangan atau pesan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum adalah seorang wanita sedang hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
  • Untuk pelaksanaan pidana mati itu KAPOLDA tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobil, terdiri dari seorang dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira, untuk tugasnya ini regu tembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada di bawah perintah KAJATI/Jaksa.
  • Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan pemikiran dalam pengaturan pidana mati di Indonesia, ada baiknya juga apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut :

  1. Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati;
  2. Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum;
  3. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun;
  4. Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh;
  5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden;
  6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki, kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, ada alasan meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman.
  7. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
  8. Jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
    (Bambang Waluyo, 2000, hlm: 14-15).
IV. Urgensi Penerapan Pidana Mati dalam Upaya Memberantas Kejahatan Tertentu
Jika dikaitkan dengan hasil penelitian di berbagai tempat yang dilakukan oleh ECOSOC bahwa tidak ada pelonjakan dalam angka kejahatan dengan dihapuskannya pidana mati, bahkan kadangkala terjadi restorasi pidana mati malahan menyebabkan bertambahnya kejahatan dan restorasi pidana mati tidak memberi jaminan tidak timbulnya kemungkinan bahwa seseorang yang tidak bersalah tidak dipidana mati, maka dapat dikatakan bahwa tujuan untuk menakut-nakuti pelaku tindak pidana tertentu dengan menerapkan ancaman pidana mati di dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak efektif.
Khusus untuk tindak pidana yang dilandasi oleh motif ekonomi, banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa pelaku tindak pidana yang dilandasi oleh motif ekonomi umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata ‘delinquent’ dan (bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum) kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Metode menarik untuk menetapkan berat/ringan pidana yang akan/harus dijatuhkan dalam rangka prevensi umum (generale preventie) dapat ditemukan dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana.
Analisa ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia sebelum memutuskan sesuatu selalu mempertimbangkan untung-rugi dari keputusannya tersebut. Bila tindak pidana, dalam hal ini mengandung kemungkinan untuk menghasilkan saldo keuntungan, maka calon pelaku akan cenderung memutuskan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, untuk menakut-nakuti calon pelaku, harus dinaikkan besarnya biaya atau kerugian dari tindak pidana tersebut. Dalam hal ini, biaya atau kerugian tersebut tidak berkenaan dengan biaya nyata akan tetapi berkenaan dengan biaya atau kerugian yang dapat diduga sebelumnya oleh calon pelaku, dimana harus diperhatikan bahwa kenyataan yang ada akan juga turut mempengaruhi dugaan tersebut. Perhitungan besarnya biaya atau kerugian yang dapat diduga (verwachte kosten) tergantung pada dua variabel, yaitu kemungkinan tertangkap (pakkans) dan pidana yang akan dijatuhkan (verwachte straf) yang harus dikalikan, sehingga:
verwachte kosten = pakkans x verwachte straf
Berdasarkan rumus di atas, maka tersedia dua alternatif untuk menaikkan besar atau nilai kerugian yang dapat diharapkan sedemikian hingga melebihi nilai keuntungan yang diharapkan, yaitu meningkatkan kemungkinan tertangkap dan peningkatan bobot sanksi (pidana penjara atau denda). (J.C. Oudijk, 1994: 410-414)
Pidana denda dan uang pengganti sangat menarik dari sudut pandang ekonomi, oleh karena (a) langsung tertuju pada hasrat kerja (mencari dan memperoleh keuntungan) calon pelaku, dan (b) merupakan pidana dengan biaya murah dan karena itu dari sudut pandang ekonomis dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, kita tidak mungkin hanya menggandakan pidana denda. Terlebih lagi, semakin sedikit uang yang dimiliki si terpidana, semakin kecil pengaruh peningkatan denda maksimum yang diancamkan terhadapnya. Di samping itu, denda maksimum hanya dapat ditingkatkan sampai batas maksimum tertentu. Karena itu, kita tetap harus mendayagunakan jenis-jenis pidana lain, khususnya pidana perampasan kemerdekaan (vrijheidsstraffen).
Variabel kemungkinan tertangkap (pakkans) juga perlu diperhatikan secara seksama dalam praktek di lapangan. Budaya KKN seperti “suap” yang banyak menggerogoti para pejabat maupun aparat pelaksana di lapangan jelas sangat berpengaruh terhadap kecilnya kemungkinan tertangkap ini. Dengan demikian, berapun besarnya bobot pidana yang akan dijatuhkan (verwachte straf), tidak akan berarti bagi calon pelaku kejahatan jika ratio kemungkinan tertangkapnya sangat kecil, apalagi jika sampai mendekati 0 %.
V. Penutup
Mengingat kontroversialnya penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan serta trend yang ada sejak abad-20 menunjukkan semakin ditinggalkannya penerapan pidana mati terhadap pelaku kejahatan, maka perlu dipikirkan secara matang apakah benar-benar diperlukan penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana tertentu.
Teori pidana modern saat ini lebih mengedepankan aspek general preventie daripada aspek pembalasan dendam terhadap pelaku atau menakut-nakuti calon pelaku kejahatan. Oleh karena itu, perlu dicari akar permasalahan atau motif mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana untuk selanjutnya dicari suatu pemecahan masalah bagaimana caranya agar motif tersebut dapat ditekan sedapat mungkin hingga mendekati titik terendah.

2 komentar:


  1. «KISAH SUKSES HERI »
    Aslamu alaikum wr wb,,senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman2 melalui room ini, sebelumnya dulu saya adalah seorang pengusaha dibidang properti, kini saya gulung tikar akibat di tipu teman sendiri, ditengah tagihan utang yg menumpuk, istri pun meninggalkan saya, dan ditengah himpitan ekonomi seperti ini, saya coba buka internet untuk cari lowongan kerja, dan secara tdk sengaja sy liat situs pesugihan AKI SYEH MAULANA, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi setelah saya lihat pembuktian video AKI ZYEH MAULANA Di Website/situnya Saya pun langsug hubungi beliau dan Semua petunjuk AKI saya ikuti dan hanya 3 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah Ternyata benar benar terbukti dan 2Miliar yang saya minta benar benar ada di tangan saya, semua utang saya lunas dan sisanya buat modal usaha, kata kata beliau yang selalu sy ingat setiap manusia bisa menjadi kaya, hanya saja terkadang mereka tidak tahu atau salah jalan. Banyak orang menganggap bahwa miskin dan kaya merupakan bagian dari takdir dari Tuhan. Takdir macam apa? Tuhan tidak akan memberikan takdir yang buruk terhadap kita, semua cobaan yang Tuhan berikan merupakan pembuktian seberapa kuat Anda bertahan di dalamnya. Tuhan tidak akan merubah nasib Anda jika Anda tidak berusaha untuk merubahnya. Dan satu hal yang perlu Anda ingat, “Jika Anda terlahir miskin itu bukan salah siapapun, namun jika Anda mati miskin itu merupakan salah Anda.” sy sangat berterimakasih banyak kepada AKI ZYEH MAULANA dan jika anda ingin seperti saya silahkan Telefon di 085298275599 Untuk yg di luar indon telefon di +6285298275599,Atau Lihat Di internet ««KLIK DISINI»» saya juga tidak lupa mengucap syukur kepada ALLAH karna melalui AKI ZYEH MAULANA saya Bisa sukses. Jadi kawan2 yg dalam kesusahan jg pernah putus asah, kalau sudah waktunya tuhan pasti kasi jalan asal anda mau berusaha, AKI ZYEH MAULANA Banyah Dikenal Oleh Kalangan Pejabat, Pengusaha Dan Artis Ternama Karna Beliau adalah guru spiritual terkenal di indonesia.

    PESUGIHAN MENGUNAKAN MINYAK GHAIB

    PENARIKAN UANG MENGGUNAKAN MUSTIKA

    BUAYER ANTIQUE/MUSTIKA

    RITUAL ANGKA TOGEL

    BalasHapus
  2. Sy tidak tau apa ini cara kebetulan saja atau gimana. Yg jelas sy berani sumpah kalau ada ke bohongan sy sama sekali. Kebetulan saja buka internet dpt nomer ini +6282354640471 Awalnya memang sy takut hubungi nomer trsebut. Setelah baca-baca artikel nya. ada nama Mbah Suro katanya sih.. bisa bantu orang mengatasi semua masalah nya. baik jalan Pesugihan dana hibah maupun melalui anka nomer togel. Setelah sy telpon melalui whatsApp untuk dengar arahan nya. bukan jg larangan agama atau jalan sesat. Tergantung dari keyakinan dan kepercayaan saja. Syukur Alhamdulillah melalui bantuan beliau benar2 sudah terbukti sekarang. Amin

    BalasHapus