1. Pendahuluan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan (selanjutnya disingkat UU Kepabeanan) dimaksudkan sebagai bagian dari hukum fiskal yang diharapkan dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.
UU Kepabeanan sebagai suatu peraturan hukum positip memuat kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dan atas pelanggarannya diancam dengan suatu sanksi yang bentuknya dapat berupa sanksi administratif ataupun sanksi pidana.
Pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih belum menggembirakan. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih banyak terjadi. Sebagian kalangan menganggap bahwa masalah ini disebabkan lebih dominannya pemberian sanksi administratif daripada sanksi pidana sehingga tidak membuat jera bagi pelakunya.
Dominasi sanksi administratif ini mungkin saja disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain:
a. kurang jelasnya batasan rumusan perbuatan mana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sifatnya pelanggaran administratif dan yang mana yang dapat ditarik sebagai tindak pidana,
b. kurangnya kuantitas dan kualitas penyidik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran di bidang kepabeanan melalui jalur hukum pidana, atau
c. mungkin juga disebabkan adanya suatu kebijakan untuk lebih mengutamakan pemberian sanksi administratif daripada memberikan sanksi pidana bagi si pelanggar, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan khusus, antara lain sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, yaitu berupa pembayaran sejumlah uang kepada negara dalam bentuk denda sebagai pemenuhan dari pemulihan fiscus dan untuk menjamin ditaatinya aturan-aturan yang secara tegas diatur dalam ketentuan undang-undang, sehingga diharapkan sanksi dapat dipakai sebagai sarana fiskal yang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Seminar kali ini nampaknya lebih dilatarbelakangi oleh pola pikir yang pertama sehingga mencoba menyoroti isi ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”
Walaupun demikian sebagai seorang sarjana hukum modern, sebaiknya kita harus berpikir secara sistematis, holistik, dan komprehensif. Untuk itu kami mencoba menganalisa masalah ini baik dari sudut pandang filosofis, ekonomis, yuridis, maupun praktis.
2. Tinjauan Filosofis
Filsafat hukum pada dasarnya menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apakah Hukum?” “Apakah tujuan Hukum itu?” dan “Mengapa orang menaati Hukum itu?” Ia menghendaki agar kita berpikir secara matang tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”, khusunya dalam seminar ini adalah yang berkaitan dengan “hukum pidana”.
Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang berisi perintah-printah dan larangan-larangan tentang tingkah laku orang-orang sebagai anggota dari suatu masyarakat yang terhadap pelanggarannya dapat dikenakan sanksi bagi si pelanggar. Sedangkan tujuan akhir dari hukum adalah untuk menciptakan suatu ketertiban di dalam masyarakat.
Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, untuk itu hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam masyarakat agar kepentingan yang beraneka ragam tersebut tidak saling berbenturan. Di dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu keseimbangan di antara berbagai kepentingan itu. Keseimbangan ini hanya dapat tercapai jika hukum yang mengaturnya dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar.
Apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, maka akan mengakibatkan keguncangan yang mengganggu keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha untuk memulihkan kembali keseimbangan yang sudah terguncang tersebut dengan memberikan sanksi, yaitu sanski administrasi dalam bidang hukum tata negara dan bidang hukum administrasi, sanksi perdata dalam bidang hukum perdata, dan sanksi pidana dalam bidang hukum pidana.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang antara lain menyatakan bahwa:
“... Asas tersebut ialah: bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condio sine qua-non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya dan harus menjaga supaya pidana itu tidak menjadi obat yang lebih memarahkan penyakit.” (Andi Zainal Abidin: 1987:16-17)
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.
Van Bemmelen berpendapat bahwa remedium harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.
Perlu pula diperhatikan tujuan diberlakukannya suatu hukum pidana. Tujuan hukum pidana adalah:
a. untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan hukum pidana maka kita dapat melihat pula teori hukum pidana (strafrechtctheorien) yang didasarkan pada persoalan: “Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana?” atau “Mengapa alat-alat negara berhak mempidana seorang pelaku kejahatan?”.
Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan:
1. Teori Absolut atau Mutlak (absolute strafrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah berbuat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.
2. Teori Relatif atau Nisbi; berpendapat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori “tujuan” (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik.
3. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien); Teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur “preventie” dan unsur ”memperbaiki penjahat” yang melekat pada tiap pidana.
Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Kebanyakan ahli hukum nampaknya masih berpendapat bahwa hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Khusus untuk tindak pidana ekonomi sebagaimana halnya kejahatan di bidang kepabeanan, banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang). Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa tindak pidana ekonomi umumnya dilandasi oleh motif ekonomi dan pelaku tindak pidana ekonomi ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata ‘delinquent’ dan (bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum) kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Metode menarik untuk menetapkan berat/ringan pidana yang akan/harus dijatuhkan dalam rangka prevensi umum (generale preventie) dapat ditemukan dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana.
3. Analisa Ekonomi dari Hukum Pidana
Analisa ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia sebelum memutuskan sesuatu selalu mempertimbangkan untung-rugi dari keputusannya tersebut. Bila tindak pidana, dalam hal ini mengandung kemungkinan untuk menghasilkan saldo keuntungan, maka calon pelaku akan cenderung memutuskan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. (selanjutnya pembahasan mengenai analisa ekonomi dari hukum pidana dapat dibaca di http://azamul.blogspot.com/2009/01/pidana-mati.html)
4. Tinjauan Yuridis
Ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (duda ratus lima puluh juta rupiah).”
Perbuatan pidana yang dirumuskan oleh UU Kepabeanan tersebut di atas dibuat dalam bentuk “tindak pidana formal” (formeel delict), yaitu tindak pidana dirumuskan sebagai suatu bentuk perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan juga merupakan commissie-delict yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif.
Lawan “tindak pidana formal” adalah “tindak pidana materiil’ (materieel delict), yaitu apabila tindak pidana dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan suatu bentuk dari perbuatan itu. Contoh: Pasal 338 dan 187 KUHP.
Lawan dari commissie-delict adalah omissie-delict yang berarti tindak pidana dalam bentuk melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi ada kalanya seseorang diancam akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbutan tertentu, misalnya Pasal 224, 529, dan 531 KUHP
Perbedaan perumusan ini secara praktis sangat penting bagi para penyidik dalam membuat analisa terhadap hasil penyidikannya, bagi jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan, dan bagi para hakim dalam menyusun putusannya.
Jika perbuatan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 103 huruf a tersebut kita sebut sebagai sutu tindak pidana (strafbaar feit), maka kita harus ingat bahwa pada pokoknya strafbaarfeit mengandung dua unsur pokok, yaitu:
a. bahwa “feit” dalam “strafbaar feit” berarti “handeling”, kelakuan, tingkah laku, yang berada dalam alam nyata, dalam alam “sein”, dapat dilihat dengan panca indera.
b. bahwa pengertian “strafbaar feit” dihubungkan dengan kesalahan orang yang menimbulkan kelakuan tadi, yaitu yang berada dalam alam batin, tidak dapat dirasakan dengan panca indera. (Hermien Hadiati Koeswadji, 1993: 42)
Dari rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, maka perbuatan pidana dalam pengertian “handeling” di dalam pasal ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
- barangsiapa;
- menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis;
- yang palsu atau dipalsukan;
- yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean.
Unsur “barangsiapa” di dalam pasal ini merupakan subjek tindak pidana yang dapat berupa orang (persoon) atau suatu badan hukum. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh suatu badan hukum, maka perlu diperhatikan hal-hal yang diatur di dalam ketentuan Pasal 108 UU Kepabeanan.
Unsur “menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis” adalah suatu bentuk perbuatan berupa perbuatan positip/aktif yang pelaksanaannya bisa berupa:
menyerahkan secara fisik dari tangan ke tangan suatu surat, formulir atau disket yang berisi Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean;
menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean melalui hubungan langsung antar-komputer;
memberikan keterangan secara lisan;
memberikan keterangan secara tertulis.
Pemberitahuan Pabean yang dimuat di dalam disket atau hubungan langsung antar komputer perlu mendapat perhatian khusus, sehubungan dengan sifat data komputer yang mudah untuk diubah, dihapus, atau disembunyikan. Di satu sisi penggunaan teknologi komputer akan mempermudah penyelenggaraan administrasi kepabeanan, namun di sisi lain akan menyulitkan bagi upaya penyidikan terhadap kejahatan ini, terutama dalam hal jika terdapat kolusi dan/atau korupsi yang melibatkan pihak intern petugas Bea dan Cukai.
Unsur “palsu atau dipalsukan” merupakan suatu keterangan keadaan yang terdapat pada objek perbuatan pidana. Kata-kata “palsu” ini mengandung dua makna, yaitu bisa berupa surat atau dokumennya yang palsu, atau isi keterangannya yang palsu atau tidak benar. Unsur ini juga merupakan unsur pokok dalam mencari ada atau tidaknya sifat melanggar hukum (onrechtmatige) pada diri si pelaku, yaitu apakah si pelaku memang mempunyai maksud untuk menciptakan keadaan palsu atau dipalsukan tersebut atau tidak.
Unsur “digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean” merupakan suatu tujuan atau niat yang melandasi dilakukan perbuatan pasitif/aktif tersebut di atas. Si pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika ia mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut dan dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya itu.
Unsur kesalahan (schuld) merupakan hal kebatinan yang menghubungkan si pelaku dengan ketiga unsur berupa perbuatan, akibat, dan sifat melanggar hukum. Hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, dan seorang pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhi hukuman pidana jika pada batinnya terdapat unsur kesalahan atau “geen strafbaar feit zonder schuld” atau “actus non facit reum nisi mens sit rea” atau “an act does not make a person guilty unless his mind is gulity”.
Dalam praktek, sulit melakukan pembuktian ada/tidaknya kesalahan, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang berada di dalam alam batin. Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran materiil tentang ada/tidaknya unsur kesalahan perlu diperiksa semua fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum).
Untuk menentukan kesalahan yang dapat dikenakan pidana terhadap terdakwa, menurut Moeljatno harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;
3. mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (opzet) atau kealpaan (culpa);
4. tidak adanya alasan pemaaf.
Kesengajaan (opzet) harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-alasan diadakan larang itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Kesengajaan ada tiga macam, yaitu:
a. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan)
Kesengajaan seperti sub-2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).
Arti kata “culpa” adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu semacam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja, terjadi.
Sekarang mari kita bandingkan rumusan Pasal 103 huruf a dengan rumusan Pasal 7 ayat (5), Pasal 16 ayat (4), dan Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan.
Pasal 7 ayat (5) UU Kepabeanan:
“Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Pasal 16 ayat (4) UU Kepabeanan:
“Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar atau paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.”
Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan:
(5) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen darai Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
(6) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Rumusan yang terdapat di dalam ketiga pasal tersebut di atas menekankan kepada hasil atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh si pelanggar, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Dalam rumusan tindak pidana hal ini dikenal dengan “tindak pidana materiil” (materieel delict). Berdasarkan ketentuan ketiga pasal ini, cukup apabila isi Pemberitahuan Pabean pada kenyataannya (in concreto) salah maka si pelanggar dapat dikenakan sanksi sebagaimana telah ditetapkan. Tidak menjadi masalah apakah terdapat unsur kesalahan (schuld) pada diri si pelanggar atau tidak, baik dalam bentuk sengaja (opzet, dolus) maupun kealpaan (culpa).
Bagaimana jika ternyata dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur kesengajaan di dalam membuat Pemberitahuan Pabean yang salah tersebut ? Jika memang demikian halnya, maka terhadap si pelanggar dapat dikenakan ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, walaupun harus diakui di dalam prakteknya sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut.
Kemudian mungkin timbul pertanyaan, mengapa kita terlalu dipusingkan dengan unsur kesalahan tersebut; bukankah Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan adanya unsur “sengaja” atau “kealpaan” di dalam tuntutannya karena memang tidak ada dicantumkan di dalam rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan tersebut. Memang, secara letterlijk Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan apakah ada unsur kesengajaan atau kealpaan terhadap perbuatan itu, namun hal ini sangat beresiko si terdakwa akan lepas dari segala tuntutan hukum jika terdakwa dapat membuktikan bahwa benar perbuatan tersebut dilakukannya tetapi tidak ada unsur kesalahan pada dirinya, sedangkan tanpa adanya unsur kesalahan maka tidak ada suatu perbuatan pidana (strafbaar feit).
Oleh karena itu, kemampuan Penyidik dalam mengumpulkan fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum), sehingga dapat tergambar secara jelas adanya kesalahan pada diri tersangka, merupakan kunci sukses seorang Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan dakwaannya di persidangan.
Koordinasi yang baik di antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum pada tahap Pra-penuntutan sebagai cerminan adanya Integrated Criminal Justice System merupakan salah satu jalan keluar dalam mengatasi kendala-kendala di atas.
5. Tinjauan Praktis
United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Caracas, Venezuella pada tahun 1980, memberikan saran sebagai berikut:
1. Bahwa sukses dari suatu peradilan kriminal dan strategi tentang pencegahan khusus dalam hubungan pertumbuhan dari bentuk-bentuk kejahatan baru, adalah tergantung kepada kemajuan yang dicapai di seluruh dunia dalam peningkatan sosial dan mutu kehidupan. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk meninjau kembali strategi pencegahan secara tradisional yang hanya didasarkan pada kriteria perundang-undangan, yaitu pemberantasan kejahatan melalui Pengadilan;
2. Pencegahan kejahatan harus dipandang dalam hubungan pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosial budaya dan perubahan-perubahan bahan sosial, dan juga dalam ketertiban ekonomi internasional yang baru;
3. Adalah sangat penting, agar program pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggaran hukum, seharusnya didasarkan pada keadaan-keadaan sosial, budaya politik dan ekonomi suatu negara, dalam suatu suasana kemerdekaan dan penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, dan agar negara-negara anggota meningkatkan keahlian secara efektif untuk merumuskan dan merencanakan politik kriminal, dan agar semua poiltik pencegahan kejahatan harus dikoordinasikan dengan strategi tentang pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. (Abdul karim Nasution, 1980: 22-23)
Jika kita perhatikan saran yang dikemukakan oleh United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders tersebut serta dibandingkan dengan prinsip yang terkandung dalam Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, maka hal ini saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah perbaikan perlu dilakukan di segala bidang baik dalam bidang ekonomi-moneter, peningkatan tertib administrasi, pengawasan, dan koordinasi antar bidang dan departemen/non-departemen, pemberantasan KKN, pemeliharaan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan kesadaran hukum masyarakat yang dapat menciptakan budaya hukum yang baik, dan lain sebagainya; semua saling memperngaruhi, bisa saling memperkuat atau memperlemah, karena semua merupakan suatu sistem yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan usaha partial belaka.
Jika kita berbicara tentang masalah penegakan hukum (law enforcement), maka kita tidak boleh melupakan salah satu dari paling tidak empat faktor yang sangat berpengaruh di dalam upaya penegakan hukum itu, yaitu:
1. Materi hukum;
2. Aparat penegak hukum;
3. Sarana dan prasarana hukum;
4. Budaya hukum.
Tulisan ini mungkin baru mencoba melakukan evaluasi terhadap materi hukumnya semata; Untuk langkah ke depan hendaknya kita jangan sampai melupakan bahwa masih banyak faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, antara lain kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik dari aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum yang memadai, serta budaya hukum yang mendukung penegakan hukum itu baik dari kalangan infra struktur maupun supra struktur masyarakat.
Penanganan masalah ganguan terhadap ketertiban masyarakat pada saat ini tidak dapat diharapkan melulu melalui peradilan pidana semata. Penggunaan instrumen-instrumen lain seperti instrumen sosial-budaya, ekonomi dan politik perlu semakin digiatkan dalam rangka mendukung terciptanya ketertiban masyarakat yang ber-keadilan sosial dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga keutuhan Persatuan dan Kesatuan Bangsa tetap terjaga secara mantap demi menjamin Pembangunan Nasional yang berkesinambungan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan (selanjutnya disingkat UU Kepabeanan) dimaksudkan sebagai bagian dari hukum fiskal yang diharapkan dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional.
UU Kepabeanan sebagai suatu peraturan hukum positip memuat kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dan atas pelanggarannya diancam dengan suatu sanksi yang bentuknya dapat berupa sanksi administratif ataupun sanksi pidana.
Pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih belum menggembirakan. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa pelanggaran terhadap peraturan kepabeanan masih banyak terjadi. Sebagian kalangan menganggap bahwa masalah ini disebabkan lebih dominannya pemberian sanksi administratif daripada sanksi pidana sehingga tidak membuat jera bagi pelakunya.
Dominasi sanksi administratif ini mungkin saja disebabkan beberapa kemungkinan, antara lain:
a. kurang jelasnya batasan rumusan perbuatan mana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sifatnya pelanggaran administratif dan yang mana yang dapat ditarik sebagai tindak pidana,
b. kurangnya kuantitas dan kualitas penyidik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran di bidang kepabeanan melalui jalur hukum pidana, atau
c. mungkin juga disebabkan adanya suatu kebijakan untuk lebih mengutamakan pemberian sanksi administratif daripada memberikan sanksi pidana bagi si pelanggar, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan khusus, antara lain sesuai dengan prinsip yang dianut oleh Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, yaitu berupa pembayaran sejumlah uang kepada negara dalam bentuk denda sebagai pemenuhan dari pemulihan fiscus dan untuk menjamin ditaatinya aturan-aturan yang secara tegas diatur dalam ketentuan undang-undang, sehingga diharapkan sanksi dapat dipakai sebagai sarana fiskal yang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Seminar kali ini nampaknya lebih dilatarbelakangi oleh pola pikir yang pertama sehingga mencoba menyoroti isi ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”
Walaupun demikian sebagai seorang sarjana hukum modern, sebaiknya kita harus berpikir secara sistematis, holistik, dan komprehensif. Untuk itu kami mencoba menganalisa masalah ini baik dari sudut pandang filosofis, ekonomis, yuridis, maupun praktis.
2. Tinjauan Filosofis
Filsafat hukum pada dasarnya menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apakah Hukum?” “Apakah tujuan Hukum itu?” dan “Mengapa orang menaati Hukum itu?” Ia menghendaki agar kita berpikir secara matang tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang “hukum”, khusunya dalam seminar ini adalah yang berkaitan dengan “hukum pidana”.
Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang berisi perintah-printah dan larangan-larangan tentang tingkah laku orang-orang sebagai anggota dari suatu masyarakat yang terhadap pelanggarannya dapat dikenakan sanksi bagi si pelanggar. Sedangkan tujuan akhir dari hukum adalah untuk menciptakan suatu ketertiban di dalam masyarakat.
Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, untuk itu hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam masyarakat agar kepentingan yang beraneka ragam tersebut tidak saling berbenturan. Di dalam mengatur segala hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan suatu keseimbangan di antara berbagai kepentingan itu. Keseimbangan ini hanya dapat tercapai jika hukum yang mengaturnya dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar.
Apabila terjadi suatu perbuatan melanggar hukum, maka akan mengakibatkan keguncangan yang mengganggu keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha untuk memulihkan kembali keseimbangan yang sudah terguncang tersebut dengan memberikan sanksi, yaitu sanski administrasi dalam bidang hukum tata negara dan bidang hukum administrasi, sanksi perdata dalam bidang hukum perdata, dan sanksi pidana dalam bidang hukum pidana.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi hukum pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang antara lain menyatakan bahwa:
“... Asas tersebut ialah: bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condio sine qua-non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya dan harus menjaga supaya pidana itu tidak menjadi obat yang lebih memarahkan penyakit.” (Andi Zainal Abidin: 1987:16-17)
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.
Van Bemmelen berpendapat bahwa remedium harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.
Perlu pula diperhatikan tujuan diberlakukannya suatu hukum pidana. Tujuan hukum pidana adalah:
a. untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau
untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan hukum pidana maka kita dapat melihat pula teori hukum pidana (strafrechtctheorien) yang didasarkan pada persoalan: “Mengapa suatu kejahatan harus dikenakan suatu hukuman pidana?” atau “Mengapa alat-alat negara berhak mempidana seorang pelaku kejahatan?”.
Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan:
1. Teori Absolut atau Mutlak (absolute strafrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah berbuat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan.
2. Teori Relatif atau Nisbi; berpendapat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori “tujuan” (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik.
3. Teori Gabungan (Verenigings-Theorien); Teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur “preventie” dan unsur ”memperbaiki penjahat” yang melekat pada tiap pidana.
Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Kebanyakan ahli hukum nampaknya masih berpendapat bahwa hanya apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Khusus untuk tindak pidana ekonomi sebagaimana halnya kejahatan di bidang kepabeanan, banyak ahli yang meragukan efektivitas daya kerja menakuti (mencegah atau menangkal) dari beratnya bobot (ancaman) pidana menurut undang-undang). Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa tindak pidana ekonomi umumnya dilandasi oleh motif ekonomi dan pelaku tindak pidana ekonomi ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, mereka biasanya telah menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi daripada rata-rata ‘delinquent’ dan (bilamana pelaku tindak pidana adalah sebuah badan hukum) kemungkinan besar mempekerjakan staf hukum tersendiri. Kedua, pengusaha umumnya tidak tertarik untuk mengambil resiko yang tidak perlu; resiko demikian hanya akan membahayakan (tingkat) keuntungan yang bisa diperolehnya.
Metode menarik untuk menetapkan berat/ringan pidana yang akan/harus dijatuhkan dalam rangka prevensi umum (generale preventie) dapat ditemukan dalam analisis ekonomi terhadap hukum pidana.
3. Analisa Ekonomi dari Hukum Pidana
Analisa ekonomi dari hukum pidana mendasarkan diri pada asumsi bahwa calon pelaku tindak pidana selalu berupaya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia sebelum memutuskan sesuatu selalu mempertimbangkan untung-rugi dari keputusannya tersebut. Bila tindak pidana, dalam hal ini mengandung kemungkinan untuk menghasilkan saldo keuntungan, maka calon pelaku akan cenderung memutuskan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. (selanjutnya pembahasan mengenai analisa ekonomi dari hukum pidana dapat dibaca di http://azamul.blogspot.com/2009/01/pidana-mati.html)
4. Tinjauan Yuridis
Ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (duda ratus lima puluh juta rupiah).”
Perbuatan pidana yang dirumuskan oleh UU Kepabeanan tersebut di atas dibuat dalam bentuk “tindak pidana formal” (formeel delict), yaitu tindak pidana dirumuskan sebagai suatu bentuk perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan juga merupakan commissie-delict yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif.
Lawan “tindak pidana formal” adalah “tindak pidana materiil’ (materieel delict), yaitu apabila tindak pidana dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan suatu bentuk dari perbuatan itu. Contoh: Pasal 338 dan 187 KUHP.
Lawan dari commissie-delict adalah omissie-delict yang berarti tindak pidana dalam bentuk melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu. Jadi ada kalanya seseorang diancam akan dihukum pidana apabila tidak melakukan perbutan tertentu, misalnya Pasal 224, 529, dan 531 KUHP
Perbedaan perumusan ini secara praktis sangat penting bagi para penyidik dalam membuat analisa terhadap hasil penyidikannya, bagi jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan, dan bagi para hakim dalam menyusun putusannya.
Jika perbuatan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 103 huruf a tersebut kita sebut sebagai sutu tindak pidana (strafbaar feit), maka kita harus ingat bahwa pada pokoknya strafbaarfeit mengandung dua unsur pokok, yaitu:
a. bahwa “feit” dalam “strafbaar feit” berarti “handeling”, kelakuan, tingkah laku, yang berada dalam alam nyata, dalam alam “sein”, dapat dilihat dengan panca indera.
b. bahwa pengertian “strafbaar feit” dihubungkan dengan kesalahan orang yang menimbulkan kelakuan tadi, yaitu yang berada dalam alam batin, tidak dapat dirasakan dengan panca indera. (Hermien Hadiati Koeswadji, 1993: 42)
Dari rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, maka perbuatan pidana dalam pengertian “handeling” di dalam pasal ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
- barangsiapa;
- menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis;
- yang palsu atau dipalsukan;
- yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean.
Unsur “barangsiapa” di dalam pasal ini merupakan subjek tindak pidana yang dapat berupa orang (persoon) atau suatu badan hukum. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh suatu badan hukum, maka perlu diperhatikan hal-hal yang diatur di dalam ketentuan Pasal 108 UU Kepabeanan.
Unsur “menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/atau memberikan keterangan lisan atau tertulis” adalah suatu bentuk perbuatan berupa perbuatan positip/aktif yang pelaksanaannya bisa berupa:
menyerahkan secara fisik dari tangan ke tangan suatu surat, formulir atau disket yang berisi Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean;
menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean melalui hubungan langsung antar-komputer;
memberikan keterangan secara lisan;
memberikan keterangan secara tertulis.
Pemberitahuan Pabean yang dimuat di dalam disket atau hubungan langsung antar komputer perlu mendapat perhatian khusus, sehubungan dengan sifat data komputer yang mudah untuk diubah, dihapus, atau disembunyikan. Di satu sisi penggunaan teknologi komputer akan mempermudah penyelenggaraan administrasi kepabeanan, namun di sisi lain akan menyulitkan bagi upaya penyidikan terhadap kejahatan ini, terutama dalam hal jika terdapat kolusi dan/atau korupsi yang melibatkan pihak intern petugas Bea dan Cukai.
Unsur “palsu atau dipalsukan” merupakan suatu keterangan keadaan yang terdapat pada objek perbuatan pidana. Kata-kata “palsu” ini mengandung dua makna, yaitu bisa berupa surat atau dokumennya yang palsu, atau isi keterangannya yang palsu atau tidak benar. Unsur ini juga merupakan unsur pokok dalam mencari ada atau tidaknya sifat melanggar hukum (onrechtmatige) pada diri si pelaku, yaitu apakah si pelaku memang mempunyai maksud untuk menciptakan keadaan palsu atau dipalsukan tersebut atau tidak.
Unsur “digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean” merupakan suatu tujuan atau niat yang melandasi dilakukan perbuatan pasitif/aktif tersebut di atas. Si pelaku dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika ia mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut dan dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya itu.
Unsur kesalahan (schuld) merupakan hal kebatinan yang menghubungkan si pelaku dengan ketiga unsur berupa perbuatan, akibat, dan sifat melanggar hukum. Hanya dengan hubungan batin ini perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku, dan seorang pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhi hukuman pidana jika pada batinnya terdapat unsur kesalahan atau “geen strafbaar feit zonder schuld” atau “actus non facit reum nisi mens sit rea” atau “an act does not make a person guilty unless his mind is gulity”.
Dalam praktek, sulit melakukan pembuktian ada/tidaknya kesalahan, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang berada di dalam alam batin. Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran materiil tentang ada/tidaknya unsur kesalahan perlu diperiksa semua fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum).
Untuk menentukan kesalahan yang dapat dikenakan pidana terhadap terdakwa, menurut Moeljatno harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);
2. di atas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;
3. mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (opzet) atau kealpaan (culpa);
4. tidak adanya alasan pemaaf.
Kesengajaan (opzet) harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat yang menjadi pokok-alasan diadakan larang itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Kesengajaan ada tiga macam, yaitu:
a. Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan)
Kesengajaan seperti sub-2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).
Arti kata “culpa” adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu semacam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja, terjadi.
Sekarang mari kita bandingkan rumusan Pasal 103 huruf a dengan rumusan Pasal 7 ayat (5), Pasal 16 ayat (4), dan Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan.
Pasal 7 ayat (5) UU Kepabeanan:
“Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).”
Pasal 16 ayat (4) UU Kepabeanan:
“Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar atau paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.”
Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Kepabeanan:
(5) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran Bea Masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak lima ratus persen darai Bea Masuk yang kurang dibayar dan paling sedikit seratus persen dari Bea Masuk yang kurang dibayar.
(6) Barangsiapa yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam Pemberitahuan Pabean atas Ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Rumusan yang terdapat di dalam ketiga pasal tersebut di atas menekankan kepada hasil atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh si pelanggar, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Dalam rumusan tindak pidana hal ini dikenal dengan “tindak pidana materiil” (materieel delict). Berdasarkan ketentuan ketiga pasal ini, cukup apabila isi Pemberitahuan Pabean pada kenyataannya (in concreto) salah maka si pelanggar dapat dikenakan sanksi sebagaimana telah ditetapkan. Tidak menjadi masalah apakah terdapat unsur kesalahan (schuld) pada diri si pelanggar atau tidak, baik dalam bentuk sengaja (opzet, dolus) maupun kealpaan (culpa).
Bagaimana jika ternyata dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur kesengajaan di dalam membuat Pemberitahuan Pabean yang salah tersebut ? Jika memang demikian halnya, maka terhadap si pelanggar dapat dikenakan ketentuan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan, walaupun harus diakui di dalam prakteknya sangat sulit untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut.
Kemudian mungkin timbul pertanyaan, mengapa kita terlalu dipusingkan dengan unsur kesalahan tersebut; bukankah Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan adanya unsur “sengaja” atau “kealpaan” di dalam tuntutannya karena memang tidak ada dicantumkan di dalam rumusan Pasal 103 huruf a UU Kepabeanan tersebut. Memang, secara letterlijk Jaksa Penuntut Umum tidak perlu membuktikan apakah ada unsur kesengajaan atau kealpaan terhadap perbuatan itu, namun hal ini sangat beresiko si terdakwa akan lepas dari segala tuntutan hukum jika terdakwa dapat membuktikan bahwa benar perbuatan tersebut dilakukannya tetapi tidak ada unsur kesalahan pada dirinya, sedangkan tanpa adanya unsur kesalahan maka tidak ada suatu perbuatan pidana (strafbaar feit).
Oleh karena itu, kemampuan Penyidik dalam mengumpulkan fakta-fakta, baik yang mendahului (ante factum), pada saat kejadian, maupun sesudah terjadinya kejadian (post factum), sehingga dapat tergambar secara jelas adanya kesalahan pada diri tersangka, merupakan kunci sukses seorang Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan dakwaannya di persidangan.
Koordinasi yang baik di antara Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum pada tahap Pra-penuntutan sebagai cerminan adanya Integrated Criminal Justice System merupakan salah satu jalan keluar dalam mengatasi kendala-kendala di atas.
5. Tinjauan Praktis
United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Caracas, Venezuella pada tahun 1980, memberikan saran sebagai berikut:
1. Bahwa sukses dari suatu peradilan kriminal dan strategi tentang pencegahan khusus dalam hubungan pertumbuhan dari bentuk-bentuk kejahatan baru, adalah tergantung kepada kemajuan yang dicapai di seluruh dunia dalam peningkatan sosial dan mutu kehidupan. Oleh sebab itu adalah sangat penting untuk meninjau kembali strategi pencegahan secara tradisional yang hanya didasarkan pada kriteria perundang-undangan, yaitu pemberantasan kejahatan melalui Pengadilan;
2. Pencegahan kejahatan harus dipandang dalam hubungan pembangunan ekonomi, sistem politik, nilai-nilai sosial budaya dan perubahan-perubahan bahan sosial, dan juga dalam ketertiban ekonomi internasional yang baru;
3. Adalah sangat penting, agar program pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelanggaran hukum, seharusnya didasarkan pada keadaan-keadaan sosial, budaya politik dan ekonomi suatu negara, dalam suatu suasana kemerdekaan dan penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, dan agar negara-negara anggota meningkatkan keahlian secara efektif untuk merumuskan dan merencanakan politik kriminal, dan agar semua poiltik pencegahan kejahatan harus dikoordinasikan dengan strategi tentang pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya. (Abdul karim Nasution, 1980: 22-23)
Jika kita perhatikan saran yang dikemukakan oleh United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders tersebut serta dibandingkan dengan prinsip yang terkandung dalam Kyoto Convention yang menekankan penanganan pelanggaran kepabeanan lebih dititikberatkan pada penyelesaian secara fiskal, maka hal ini saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah perbaikan perlu dilakukan di segala bidang baik dalam bidang ekonomi-moneter, peningkatan tertib administrasi, pengawasan, dan koordinasi antar bidang dan departemen/non-departemen, pemberantasan KKN, pemeliharaan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, pembinaan kesadaran hukum masyarakat yang dapat menciptakan budaya hukum yang baik, dan lain sebagainya; semua saling memperngaruhi, bisa saling memperkuat atau memperlemah, karena semua merupakan suatu sistem yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan usaha partial belaka.
Jika kita berbicara tentang masalah penegakan hukum (law enforcement), maka kita tidak boleh melupakan salah satu dari paling tidak empat faktor yang sangat berpengaruh di dalam upaya penegakan hukum itu, yaitu:
1. Materi hukum;
2. Aparat penegak hukum;
3. Sarana dan prasarana hukum;
4. Budaya hukum.
Tulisan ini mungkin baru mencoba melakukan evaluasi terhadap materi hukumnya semata; Untuk langkah ke depan hendaknya kita jangan sampai melupakan bahwa masih banyak faktor-faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, antara lain kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik dari aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum yang memadai, serta budaya hukum yang mendukung penegakan hukum itu baik dari kalangan infra struktur maupun supra struktur masyarakat.
Penanganan masalah ganguan terhadap ketertiban masyarakat pada saat ini tidak dapat diharapkan melulu melalui peradilan pidana semata. Penggunaan instrumen-instrumen lain seperti instrumen sosial-budaya, ekonomi dan politik perlu semakin digiatkan dalam rangka mendukung terciptanya ketertiban masyarakat yang ber-keadilan sosial dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga keutuhan Persatuan dan Kesatuan Bangsa tetap terjaga secara mantap demi menjamin Pembangunan Nasional yang berkesinambungan.
«KISAH SUKSES HERI »
Aslamu alaikum wr wb,,senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman2 melalui room ini, sebelumnya dulu saya adalah seorang pengusaha dibidang properti, kini saya gulung tikar akibat di tipu teman sendiri, ditengah tagihan utang yg menumpuk, istri pun meninggalkan saya, dan ditengah himpitan ekonomi seperti ini, saya coba buka internet untuk cari lowongan kerja, dan secara tdk sengaja sy liat situs pesugihan AKI SYEH MAULANA, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi setelah saya lihat pembuktian video AKI ZYEH MAULANA Di Website/situnya Saya pun langsug hubungi beliau dan Semua petunjuk AKI saya ikuti dan hanya 3 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah Ternyata benar benar terbukti dan 2Miliar yang saya minta benar benar ada di tangan saya, semua utang saya lunas dan sisanya buat modal usaha, kata kata beliau yang selalu sy ingat setiap manusia bisa menjadi kaya, hanya saja terkadang mereka tidak tahu atau salah jalan. Banyak orang menganggap bahwa miskin dan kaya merupakan bagian dari takdir dari Tuhan. Takdir macam apa? Tuhan tidak akan memberikan takdir yang buruk terhadap kita, semua cobaan yang Tuhan berikan merupakan pembuktian seberapa kuat Anda bertahan di dalamnya. Tuhan tidak akan merubah nasib Anda jika Anda tidak berusaha untuk merubahnya. Dan satu hal yang perlu Anda ingat, “Jika Anda terlahir miskin itu bukan salah siapapun, namun jika Anda mati miskin itu merupakan salah Anda.” sy sangat berterimakasih banyak kepada AKI ZYEH MAULANA dan jika anda ingin seperti saya silahkan Telefon di 085298275599 Untuk yg di luar indon telefon di +6285298275599,Atau Lihat Di internet ««KLIK DISINI»» saya juga tidak lupa mengucap syukur kepada ALLAH karna melalui AKI ZYEH MAULANA saya Bisa sukses. Jadi kawan2 yg dalam kesusahan jg pernah putus asah, kalau sudah waktunya tuhan pasti kasi jalan asal anda mau berusaha, AKI ZYEH MAULANA Banyah Dikenal Oleh Kalangan Pejabat, Pengusaha Dan Artis Ternama Karna Beliau adalah guru spiritual terkenal di indonesia.
PESUGIHAN MENGUNAKAN MINYAK GHAIB
PENARIKAN UANG MENGGUNAKAN MUSTIKA
BUAYER ANTIQUE/MUSTIKA
RITUAL ANGKA TOGEL
Sy tidak tau apa ini cara kebetulan saja atau gimana. Yg jelas sy berani sumpah kalau ada ke bohongan sy sama sekali. Kebetulan saja buka internet dpt nomer ini +6282354640471 Awalnya memang sy takut hubungi nomer trsebut. Setelah baca-baca artikel nya. ada nama Mbah Suro katanya sih.. bisa bantu orang mengatasi semua masalah nya. baik jalan Pesugihan dana hibah maupun melalui anka nomer togel. Setelah sy telpon melalui whatsApp untuk dengar arahan nya. bukan jg larangan agama atau jalan sesat. Tergantung dari keyakinan dan kepercayaan saja. Syukur Alhamdulillah melalui bantuan beliau benar2 sudah terbukti sekarang. Amin
BalasHapus